ARTIKEL FASE MAKKI DAN MADANI - ULUMUL QUR'AN


ARTIKEL FASE MAKKI DAN MADANI ULUMUL QUR'AN

ARTIKEL FASE MAKKI DAN MADANI ULUMUL QUR'AN


FASE MAKKI DAN MADANI
Oleh: Syifa’ur Romli (22002012012)[1]

ABSTRAK
Fokus penulisan ini tertuju pada fase Makki dan Madani. Dimana dari hasil pengamatan penulis, terdapat beberapa opsi perspektif definisi mengenai keduanya. Namun masih terjadi debatable dan terbuka untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Penentuan Makki dan Madani menentukan latar waktu, tempat serta gaya bahasa yang digunakan. Termasuk urgensinya terhadap sumbangsih interpretasi Al-Qur’an. Ciri-ciri ayat Makkiyah dan Madaniyah yang terdeteksi merupakan salah satu metode dalam penentuan Makki dan Madani. Dimana aspek riwayat dari para sahabat dan tabi’in yang mengetahui serta menyaksikan secara langsung turunnya ayat merupakan metodologi utama dalam penentuan Makki atau Madani.
Kata Kunci: Fase, Makki dan Madani.
A.   Pendahuluan
Dalam pembahasan studi ulumul Qur’an, setidaknya ada beberapa tema pembahasan yang sangat mendasar untuk dijadikan pembasan. Antara lain: Asbab an-Nuzul, sistematika bacaan Qur’an (Qira’at) , Naskh Mansukh, Makkiyah Madaniyah dan lainnya. Hal ini kuat singgungannya terhadap pendalaman makna dan isi kandungan Al-Qur’an secara mendalam. Baik yang sudah tersurat atau masih tersirat. Terlebih pada konteks interpretasi, selain menggunakan makna dari teks, aspek historis juga sangat diperlukan guna mengekstrak kandungan ayat yang ada. Sebab diturunkannya ayat, objek latar dan waktu turunnya ayat, apakah ditujukan terhadap penduduk Makkah ataupun Madinah.
Kajian fase Makki dan Madani merupakan salah satu objek kajian histori yang penting untuk dipelajari untuk menjadi komponen dalam menafsirkan Al-Qur’an. Hal tersebut menjadi penting sebab verifikasi serta klasifikasi latar tempat, waktu dan pola kalimat menjadi penentu kevalidan sebuah penafsiran guna menghindari kesalahan pada penafsirannya (al-inkhiraf fi tafsir Al-Qur’an).
Pada artikel yang akan disajikan penulis kali ini, sedikit akan mengurai mengenai kajian fase Makki dan Madani dalam ruang lingkup definisi, metodologi, klasifikasi, urgensi serta berbagai pro-kontra yang terjadi pada pembahasannya sehingga menjadi sebuah opsi perangkat memahami dan menganalisa suatu penafsiran Al-Qur’an yang sangat menarik untuk dipelajari.

B.   Pembahasan
As-Suyuthi mendefinisikan Makki sebagai suatu surat ataupun ayat yang diturunkan sebelum hijrah. Sedangkan Madani merupakan suatu ayat atau surat yang diturunkan setelah hijrah. Hal tersebut disampaikan Abdurrahman guna menghilangkan asumsi sebagian kalangan bahwa Makki dan Madani tidak serta merta menunjuk pada latar tempat saja.[2]
Kendati demikian, terdapat beberapa perspektif terkait definisi terminologi Makki dan Madani. Perspektif tersebut antara lain: (1). Masa turun (zaman an-nuzul), (2). Tempat turun (makan an-nuzul), (3). Objek wahyu (mukhatab), dan (4). Tema pembicaraan (Maudlu’). Dimana pada perspektif masa turun, sebagaimana definisi yang diunggulkan As-Suyuthi di atas. Pada perspektif tempat turun, Makkiyah merupakan ayat atau surat yang diturunkan di kota Makkah dan sekitarnya seperti Mina, Arafah,Hudaibiyah dan Madaniyah adalah yang turun di kota Madinah dan sekitarnya seperti Uhud, Quba’ dan lainnya. Pada perspektif objek wahyu, Makkiyah merupakan ayat atau surat yang dikhitabkan kepada orang-orang Makkah sedangkan Madaniyah sebaliknya. Pada perspektif tema pembicaraan, kendati surat atau ayat diturunkan di Madinah, akan tetapi objeknya adalah orang-orang Makkah atau diikenal dengan istilah “Maa Nuzila bi al-Madinah wa hukmuhu Makki”.[3]
Dari sekian deretan perspektif definisi di atas, tiga di antaranya memiliki celah yang melatar belakangi kurang diterimanya definisi ke tiganya. Kecuali definisi pertama di atas, yang mengatakan bahwa Makki atau Madani ditentukan berdasarkan masa Rasulullah SAW hijrah. Banyak Ulama yang mengunggulkan definisi di atas termasuk As-Suyuthi dan Az-Zarkasyi. Dengan demikian, surat An-Nisa’ [4]: 58 termasuk katagori Madaniyah meskipun tempat turunnya adalah kota Makkah.
Para Ulama menggunakan beberapa metodologi dalam memastikan suatu ayat atau surat adalah Makkiyah atau Madaniyah. Sebagaimana pendapat Manna Al-Qaththan yang menklasifikasikan dua metode utama dalam penentuannya. Keduanya adalah sima’i naqli (pendengaran secara transmisi) dan qiyasi ijtihadi (analogi ijtihad). Sebagian besar penentuan suatu ayat atau surat merupakan wujud dari metode yang pertama. Disandarkan pada riwayat dari para sahabat yang hidup serta menyaksikan turunnya wahyu. Dan seterusnya para tabi’in yang mendengar riwayat dari para sahabat.
Adapun metode qiyasi ijtihadi dilakukan melalui telaah terhadap ciri-ciri Makkiyah atau Madaniyah. Antara lain apabila terdapat wahyu yang teknis tempanya adalah Makki, namun terdapat ciri-ciri Madani, maka dinamakan surat atau ayat Madaniyah. Sebaliknya bilamana suatu wahyu dengan teknis tempat Madani, namun terdapat ciri-ciri Makki, maka dinamakan ayat atau surat Makkiyah.[4]
Menuqil pendapat Subhi Shalih dan Az-Zarkasyi[5], Abdurrahman menjelaskan ciri-ciri surat Makki dan Madani. Berikut ciri-ciri surat Makki:
1.   Terdapat ayat sajadah di dalamnya.
2.   Terdapat kata “kalla”, terdapat pada pertengahan hingga akhir Al-Qur’an.
3.   Terdapat seruan “ya ayyuha an-nas” dan tidak terdapat seruan “yaa ayyuha al-ladzina amanu”. Mengenai kasus pada surat Al-Hajj, masih terjadi polemik.
4.   Terdapat kisah para nabi dan kisah umat terdahulu, kecuali surat Al-Baqarah.
5.   Terdapat kisah nabi Adam dan Iblis, kecuali surat Al-Baqarah.
6.   Terdapat potongan huruf sebagai ayat di awal surat, kecuali pada surat Al-Baqarah dan Ali Imran. Mengenai Ar-Ra’ad masih terjadi perdebatan.
Ciri-ciri surat surat Madani antara lain sebagai berikut:
1.   Terdapat soal peperangan serta penjelasan hukumnya.
2.   Terdapat hukum hadd, rampasan perang, hukum sosial, sipil dam hukum antar negara di dalamnya.
3.   Terdapat uraian tentang orang munafik. Kecuali Al-Ankabut. 11 ayat pertama Madani dan sisanya Makki.
4.   Terdapat bantuan terhadap ­Ahlu al-Kitab dan seruan agar mereka mau meninggalkan sikap berlebihan.
Dapat disimpulkan, beberapa kriteria Makki di atas menggambarkan bahwa fase Makkah sebagai fase Indzar (peringatan) dimana fokus temanya adalah keimanan, gambaran hari akhir, surga, neraka dan lainnya. Hal tersebut berpengaruh pada gaya bahasa yang cenderung menggiurkan sebagai upaya pendekatan persuasif. Sementara fase Madani yang telah menyentuh pada ranah Risalah sehingga gaya bahasa yang digunaka cenderung lebih luas.[6]
    Sementara manfaat serta urgensi dalam mengetaui Makkiyah dan Madaniyah sebagaimana ringkasan berikut:
1.   Membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an.
2.   Pedoman bagi langkah-langkah dakwah.
3.   Memberi Informasi mengenai sirah kenabian.[7]

C.   Kesimpulan
Bahwa dari uraian singkat di atas, fase Makki dan Madani merupakan salah satu aspek penting dalam partisipasi interpretasi Al-Qur’an. Dimana ayat yang turun di masa sebelum dan sesudah hijrahlah yang paling diunggulkan dalam penentuan serta klasifikasi dari keduanya. Sedangkan definisi yang lain masih memiliki celah untuk dikatakan sebagai sebuah definisi valid. Terlepas dari semua itu, penulis merasa sangat bersyukur atas terselesaikannya artikel singkat guna menyelesaikan tugas Ulumul Qur’an.

D.   Daftar Pustaka
Abdurrahman (t.t.). Mengkaji Ilmu Al-Qur’an. Malang: Q-press
al-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah (1957). Al- Burhan Fi ‘ Ulum al-Qur’an. Juz I. Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah.
Al-Qaththan, Manna (2005). Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Terjemahan oleh  H. Anunur Rafiq El-Mazni. Cetakan I. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Anwar, Rosihon (2009). Pengantar Ulumul Quran. Cetakan I. Bandung: CV. Pustaka Setia.



[1] Mahasiswa pasca sarjana Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam (IAI) Al-Qolam Gondanglegi, Malang. E-Mail: syifaurromli19@alqolam.ac.id.
[2] Abdurrahman, Mengkaji Ilmu Al-Qur’an, (Malang: Q-press, t.t.), hal. 72. Sekalipun definisi di atas merupakan salah satu opsi definisi yang diunggulkan oleh As-Suyuthi sendiri dan mencantumkan pula definisi lain. Hal serupa disampaikan oleh Az-Zarkasyi, hanya saja, Az-Zarkasyi mencantumkan definisi yang diunggulkan oleh As-Suyuthi pada posisi ke dua dan juga diunggulkan. Lihat: Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah al-Zarkasyi, Al- Burhan Fi ‘ Ulum al-Qur’an, juz I (Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1957), hlm. 187.
[3] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Quran, cetakan I (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), hal. 114. Selengkapnya lihat pada halaman: 116.

[4] Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Terjemahan oleh  H. Anunur Rafiq El-Mazni, cetakan I (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 72-73.

[6] Abdurrahman, hal. 73-75.
[7] Manna Al-Qaththan, hlm. 71.

0 Response to "ARTIKEL FASE MAKKI DAN MADANI - ULUMUL QUR'AN"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel