SEJARAH PERADABAN DINASTI SHAFARIYAH


RUNTUHNYA DINASTI SHAFARIYAH


Disusun untuk memenuhi tugas UAS
Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu:
Dr. KH. M. Shofiyulloh, ST, M.Si.
 


RUNTUHNYA DINASTI SHAFARIYAH - YA'QUB BIN LAITS AL-SHAFFAR





Oleh:
Syifa’ur Romli
NIM. 22002012012





PROGRAM PASCASARJANA
INSITUT AGAMA ISLAM AL-QOLAM
MALANG
2020



Abstrak
Dinasti-dinasti kecil yang muncul di periode kedua masa Daulah Abbasiyah sebagian besar berasal dari Arab memecah wilayah kekuasaan Khalifah dari Barat. Dinasti Shafariyah (Fars, Persia) didirikan oleh Ya’qub bin Laits al-Shaffar. Seorang pekerja tukang kuningan bersama ayah dan adiknya, yang kemudian masuk ke dalam gerombolan penyamun ketika usahanya mengalami kemerosotan. Ketika pasukannya semakin kuat ia mengadakan ekspansi wilayah hingga berhasil merebut daerah kekuasaan Dinasti Thahiriyah dan kemudian mendirikan sebuah dinasti sendiri. Usaha untuk menguasai wilayah-wilayah yang ada terus dilakukan, sampai pada akhirnya tinggallah Baghdad. Diteruskannya rencana untuk melakukan penaklukan atas Baghdad, tetapi usahanya kali ini gagal sebab khalifah Abbasiyah telah terlebih dahulu mengutus pasukan perang di bawah kepemimpinan al-Muwafaq. Sehingga pasukan Ya’qub berhasil dikalahkan, dan Ya’qub pun meninggal dunia. Sepeninggal Ya’qub digantikan oleh adiknya Amr, yang juga tidak berselang lama berhasil ditaklukkan oleh pasukan Bani Samaniyah.
           
            Kata Kunci : Dinasti Shafariyah, Keberhasilan, Kehancuran.

A.    Pendahuluan

Peradaban Islam adalah terjemahan dari kata Arab al-Hadharah al-Islamiyah, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan Kebudayaan Islam. Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata “kebudayaan” (Arab; al-Tsaqafah – Inggris; culture) dan “peradaban” (Arab; al-Hadarah – Inggris; civilization). Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, keduanya dibedakan secara makna. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat (lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi serta moral). Sedangkan manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban; terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi.[1]
Pembahasan mengenai sejarah perkembangan peradaban Islam yang sangat Panjang dan kompleks tersebut tidak bisa dipisahkan dengan pembahasan sejarah politik yang juga terkandung di dalamnya. Bukan hanya karena aspek politik yang mempunyai peran prnting dalam perkembangan peradaban Islam, tetapi terutama karena sistem politik dan pemerintahan itu sendiri merupakan aspek penting dari peradaban. Sejarah politik dunia Islam terbagi ke dalam tiga periode: Pertama, periode klasik (650-1250 M); Kedua, periode pertengahan (1250-1800 M); Ketiga, periode modern (1800 M – sekarang). Akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini adalah sejarah politik periode klasik beserta seluk beluk pemerintahannya.
Adapun Negara merupakan satu perangkat instrumental bagi pelaksanaan tata pemerintahan. Hal ini telah disadari oleh umat Islam, tatkala Islam mulai mengalami perkembangan, baik itu dalam hal jumlah kaum Muslimin maupun pada sektor wilayah kekuasaan Islam yang semakin meluas. Hal tersebut cukup memberi satu alasan penting untuk menumbuhkan kesadaran dikalangan umat Islam tentang perlunya penataan sistem ketatanegaraan yang lebih rapih dan terkordinasi. Terdapat sebuah kaitan antara Islam sebagai suatu rancangan yang menyeluruh untuk menata kehidupan umat manusia, dengan politik sebagai satu-satunya alat yang dipakai untuk menjamin ketaatan universal terhadap rancangan tersebut.[2]
Konsep kepemimpinan dalam Islam memiliki dasar-dasar yang sangat kuat, selain berdasar kepada kedua sumber utama yakni Al-Qur’an dan Hadits juga sebagaimana proses aktualisasi yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sejak berabad yang lalu. Dengan tidak mengesampingkan dasar Islam yang utama, pola kepemimpinan dalam Islam mengalami perkembangan yang dinamis. Perubahan ini terjadi dalam diri manusia maupun di luar dirinya, termasuk lingkungan sekitar. Adanya kondisi semacam ini dikarenakan perjalanan waktu yang terus bergerak maju, sehingga menimbulkan dinamisasi dalam pola-pola hidup manusia, baik itu berprilaku, gaya hidup maupun cara berfikirnya, tidak terkecuali pula corak kepemimpinan dalam Islam.
Semasa hidup Rasulullah, peran ganda sebagai utusan Allah sekaligus pemimpin ummat diembannya dengan sempurna. Konsep kepemimpinan dalam Negara telah difahami oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai sebuah cara untuk membangun peradaban Islam dalam bidang Politik Ketatanegaraan. Dan itu tampak pada keberhasilannya dalam meletakkan landasan sebuah Negara yang berdasarkan ajaran-ajaran Islam pada masa pemerintahan Islam waktu itu. Sehingga sepeninggal beliau, syari’at Islam yang menjadi dasar tata pemerintahan diwariskan Rasulullah kepada para pemimpin pengganti beliau yang disebut dengan Khalifah atau Khulafa’ ar Rasyidin (para khalifah atau pemimpin yang diberi petunjuk). Sistem pemerintahan yang diterapkan serta segala sesuatu yang termasuk di dalamnya selanjutnya disebut sebagai sistem khilafah.[3]
Masa pemerintahan sepeninggal Rasulullah disebut periode Khilafah Rasyidah, yakni masa kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib (11 – 41 H / 632 – 661 M). Corak pemerintahan pada masa keempat khalifah ini berdasarkan kepada tauladan Rasulullah. Rasul pun sengaja tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan kepemimpinan atas kaum muslimin setelah beliau wafat, mereka dipilih berdasarkan jalan musyawarah (demokrasi) sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah.[4] Selepas masa Khulafa’ ar Rasyidin, sistem pemerintahan Islam berubah menjadi bentuk kerajaan. Sistem tata negara yang semula bersifat demokrasi, berubah menjadi monarchi heridetis (kerajaan turun temurun).
Pada tahun 661 M terjadi sebuah perjanjian persatuan umat muslim demi mendamaikan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi pada detik terakhir kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Yakni pasca terbunuhnya Ali kemudian digantikan Hasan selama beberapa bulan. Perjanjian damai ini dapat mempersatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan politik Muawiyah bin Abi Sufyan. Dan pada tahun ini disebut tahun persatuan, yang mana dalam sejarah dikenal sebagai tahun jama’ah (‘aam jama’ah).[5] Memasuki masa kekuasaan Muawiyah menjadi awal berkuasanya Bani Umayyah atas pemerintahan Islam (41 – 132 H / 661 – 750 M). Kepemimpinan Muawiyah diperoleh atas jalan kekerasan, tipu daya dan diplomasi.
Dilanjutkan oleh Daulah Abbasiyah sebagai penguasa Islam kedua setelah Daulah Umayyah. Daulah yang berkuasa pada masa yang cukup panjang, didirikan oleh Abul Abbas Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim (132 – 656 H / 750 – 1258 M). Yang mana corak pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda mengikuti perubahan situasi politik, sosial dan budaya. Keutuhan wilayah yang dikuasai oleh Daulah Abbasiyah mampu bertahan hingga kurang lebih seratus tahun. Gemilang masa kejayaan Daulah Abbasiyah pada periode pertama sangat lekat dengan peradaban Islam.
Pada periode pertama Dinasti Abbasiyah, muncul fanatisme kebangsaan berbentuk gerakan syu’ubiyah (anti Arab). Gerakan inilah yang menginspirasi banyaknya gerakan politik. Dinasti-dinasti kecil yang tumbuh dan memerdekakan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah, ada yang berlatar belakang bangsa Arab, Turki, Persia, dan Kurdi, sebagaimana ada juga yang berlatar belakang aliran Syi’ah dan Sunni.[6] Sedangkan pada periode kedua, wibawa khalifah merosot tajam. Dan keadaan seperti ini dimanfaatkan oleh para panglima tentara untuk mengambil alih kekuasaan dari khalifah. Namun kekuasaan para tentara itu juga tidak bertahan lama karena mereka saling berselisih dan tidak mendapatkan dukungan penduduk akibat kedzaliman mereka. Hal itulah yang menjadi latar belakang bermulanya masa disintregasi dan dunia Islam terpecah menjadi beberapa kerajaan.

B.     Sejarah Singkat Dinasti Shafariyah (254 – 289 H / 867 – 903 M)

Dinasti shafariyah merupakan sebuah dinasti Islam yang paling lama berkuasa di dunia Islam. Didirikan oleh seorang pekerja tukang barang-barang kuningan/tembaga, Ya’qub bin Laits al-Shaffar. Nama Shaffariyah juga diambil dari nama pendiri dinasti ini. Ya’qub bin Laits al-Shaffar sejak kecil adalah orang yang tekun terhadap pekerjaan, ia menekuni pekerjaan ini di perusahaan ayahnya. Namun sejak ayahnya meninggal dunia, kemudian perusahaan tersebut dikelola oleh dia dan adiknya; Amr bin Laits, perusahaan tersebut semakin mengalami kemunduran sampai akhirnya bangkrut.[7]
Kemerosotan ekonomi yang dialaminya inilah yang kemudian menjadikan ia dan adiknya bergabung ke dalam kelompok penyamun. Ketika terjadi kekacauan, gerombolan penyamun ini muncul, mereka membegal kafilah-kafilah dagang maupun iring-iringan pembesar pemerintahan. Hal ini membuat kemelut kekacauan terhadap kehidupan rakyat dan kehidupan ekonomi secara umum semakin menjadi. Sekalipun Ya’qub adalah seorang penyamun, tetapi ia adalah pribadi yang dermawan. Ya’qub sering membantu orang-orang yang tertindas dan mau merampok hanya pada para hartawan yang hidup dari hasil pemerasan juga. Sedangkan orang-orang yang dianggap baik tidak diganggunya.
Lambat laun kelompoknya menjadi pasukan yang tangguh, teratur dan mempunyai disiplin tinggi, yang semakin hari semakin mengharumkan namanya. Ketika Ya’qub sudah mulai kuat, pada tahun 253 H/867 M ia memulai gerakannya. Ia melakukan perluasan wilayah ke Sijistan dan Punjab. Pada tahun itu pula ia dapat merebut benteng Herat bagian utara, perbatasan wilayah Khurasan. Selanjutnya Ya’qub berusaha mengelabui dan meguasai Nesabury panglima perang negara Aththahiriyah dan memproklamirkan dirinya sebagai utusan khalifah untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Thahir (penguasa Aththahiriyah). Ia meneruskan untuk menguasai wilayah Makran (Balukhistan) dan wilayah Fars. Benteng Kirman telah dikuasai sebelum penaklukan wilayah tersebut.[8]

C.    Keberhasilan Dinasti Shafariyah

Setelah Ya’qub memproklamirkan dirinya menjadi penguasa baru, ia melanjutkan ekspansi ke wilayah-wilayah di sekitarnya. Pada dua tahun berikutnya, Ya’qub mulai mempersiapkan kekuatan baru sembari menunggu bagaimana reaksi pihak khilafah Abbasiyah. Ia menyaksikan kerusuhan di sana sini sebagai reaksi atas pemerintahan al-Mu’tazz, dan pada tahun 255 H terjadilah puncak kemelut di Ibu Kota Samarra. Demikian yang terjadi dengan khalifah penggantinya yakni al-Muhtadi, dianggap sebagai khalifah yang lemah. Sehingga wibawa pemerintah tampak berkurang. Menyusul kesuksesan sebelumnya, maka pada tahun berikutnya ia melanjutkan penguasaan atas kota Kabul dan kota bentang Balkh. Ya’qub juga merebut Khurasan pada tahun 260H/873 M.[9]
Meskipun kesuksesan telah banyak dicapai oleh Ya’qub, tetapi hubungan dengan pemerintahan Daulah Abbasiyah masih terjaga dengan baik. Hubungan baik dengan Abbasiyah itu semakin mengukuhkan pemberian khalifah atas beberapa kota penting antara lain Balkh, Thurkhanistan, Kirman, Sijistan dan daerah lainnya. Dalam catatan perjalanan sejarah berikutnya tampaknya Ya’qub memang berpotensi menjadi pemimpin besar. Ia terus melebarkan sayap kekuasaannya sampai di wilayah Khurasan. Tidak dapat dipungkiri bahwa Dinasti Shaffariyah adalah salah satu Dinasti berkebangsaan Persia yang mempunyai sejarah gemilang pada masanya, sebab dipimpin oleh penguasa yang bijak beserta pasukannya yang tangguh.[10]
Tetapi lambat laun, penguasa Daulah Abbasiyah mulai khawatir dengan sepak terjang Ya’qub. Khalifah merasa terancam kedudukannya di Baghdad sehingga khalifah memberi peringatan, akan tetapi Ya’qub tidak mengindahkan peringatan tersebut dan bahkan menentangnya dengan mengandalkan kekuatan pasukannya. Melihat besarnya kekuatan pasukan Ya’qub, khalifah pun membiarkannya dan mengutus kurir untuk menyerahkan wilayah Khurasan, Thibristan, Jurjan, al-Ra dan Persia, sekaligus mengangkatnya sebagai amir.
Kegemilangan Ya’qub dalam perluasan wilayah ini menjadikannya berkeinginan untuk menguasai Baghdad. Ya’qub pun bergerak menuju Baghdad, sebab hanya Baghdad satu-satunya wilayah yang masih dikuasai khalifah Abbasiyah. Sedangkan khalifah mengutus saudaranya yang bernama al-Muwafaq untuk memimpin pasukan perang. Pasukan Ya’qub diserbu terlebih dahulu oleh pasukan al-Muwafaq. Ya’qub yang diduga sedang memiliki masalah pada saat itu, mengalami kekalahan pahit dan meninggal pada tahun (256 H / 879 M)[11] di tangan utusan khalifah yakni al-Muwafaq.[12]

D.    Kemunduran Dinasti Shafariyah

Atas meninggalnya Ya’qub bin Laits al-Shaffar, Amr bin Laits diakui sebagai gubernur. Amr menerima kekuasaan sebagai gubernur atas penetapan khalifah al-Mu’tamid, karena sebelumnya ia mengirim surat kepada khalifah sebagai pernyataan ketaatannya. Ia pun akhirnya diakui oleh khalifah sebagai gubernur Sijistan. Di bawah kepemimpinan Amr tetap dilaksanakan perluasan kekuasan, salah satunya ia menginginkan wilayah Transoxania yang saat itu secara formal masih berada di bawah penguasaan Dinasti Thahiriyah. Meskipun di satu sisi sesungguhnya yang berkuasa di wilayah ini adalah Bani Samaniyyah, dan mereka mempunyai kekuatan yang lebih dari pada Shafariyah.
Pasukan Amr dapat dikalahkan oleh pasukan Ismail bin Ahmad dari Bani Samaniyyah, kemudian Amr sendiri ditangkap.[13] Akhirnya semua hasil penaklukan terlepas kembali, dan hanya Sijistan yang masih berada dalam kekuasaan Dinasti Shafariyah. Sebenarnya ada tiga orang pengganti Amr, tetapi ketiga-tiganya kurang mendapatkan perhatian oleh para sejarawan. Ketiga penerus itu adalah Thahir bin Muhammad (900-909 M), al-His bin Ali (909-910 M), dan al-Mua’addil bin Ali (910- 911 M). Dinasti ini semakin melemah karena banyaknya perbedaan ideology, pemberontakan dan terjadi kekacauan (kondisi carut-marut) dalam pemerintahan.[14] Akhirnya Dinasti Ghaznawi mengambil alih kekuasaan Dinasti Shaffariyah. Setelah penguasa terakhir Dinasti Shaffariyah, Khalaf meninggal dunia, berakhir pula kekuasaan Dinasti Shaffariyah di Sijistan.[15]

E.     Kesimpulan

Gemilang kekuasaan yang tangguh juga dapat berakhir sebuah kehancuran. Semuanya tergantung pada siapa yang paling kuat bertahan di antaranya. Sebagaimana pembahasan mengenai Dinasti Shafariyah di atas, seorang Ya’qub bin Laits al-Shaffar sebagai pendirinya. Yang semula bekerja sebagai tukang kuningan/tembaga, kemudian menjadi salah satu anggota komplotan penyamun, hingga komplotan tersebut menjelma sebagai pasukan tangguh yang semakin luas jaringan kekuasaannya. Menjadi awal mula berdirinya DinastiShaffariyah di bawah kepemimpinan Ya’qub, dengan gesitnya mampu menaklukkan wilayah-wilayah yang diinginkannya. Termasuk juga wilayah kekuasaan Dinasti Thahiriyah lalu mengambil alih kekuasaannya.
Prestasi tersebut diraih Ya’qub dengan tetap menjaga hubungan baik dengan khalifah Abbasiyah. Tetapi lama semakin lama, Ya’qub juga menginginkan Baghdad yakni wilayah satu-satunya yang tertinggal sebagai daerah kekuasaan khalifah Abbasiyah. Disusunlah rencana untuk melakukan serangan untuk menaklukkan Baghdad. Tetapi rencana tersebut berakhir dengan kegagalan sebab khalifah Abbasiyah telah terlebih dahulu mengutus pasukan di bawah pimpinan saudaranya al-Muwafaq untuk menyerbu pasukan Ya’qub. Pada peristiwa penyerbuan ini, yang diduga keadaan Ya’qub sedang dalam masalah pasukan al-Muwafaq berhasil mengalahkan dan Ya’qub pun meninggal dunia.
Hal ini menjadi bukti dalam catatan sejarah peradaban Islam tentang nilai politik, sosial dan budaya yang terkandung di dalam setiap deretan peristiwa. Keberhasilan atau prestasi dan kemunduran atau kehancuran adalah dua hal yang serta merta menjadi niscaya. Dari sejarah Dinasti Shaffariyah dapat diambil pelajaran bahwa hidup bukan hanya tentang kekuasaan dan saling rebut, melainkan juga tentang bagaimana cara berjuang dengan ikhlas dan bagaimana cara untuk bertahan menghadapi serangan ujian. Sebab, siapa yang paling kuat di antaranya maka dialah yang akan mampu untuk bertahan.[]
Wallahu A’lam…



Daftar Pustaka

Ahmad. (1977). Sejarah Islam dan Ummatnya Jilid III, Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Sharqawi, Effat. (1986). Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung. Pustaka.
‘Aus, Abdul Halim. Dirasah Li Suquth Tsalatsina Daulah Islamiyah, Alokah.
Enayat, Hamit. (1998). Reaksi Politik Sunni dan Syi’i: Pemikiran Politik Modern Menghadapi Abad Ke-XX, Bandung. Pustaka.
Fuadi, Imam. (2011). Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta. Teras.
Hasan, Hamka. (2004). “Kemunduran Peradaban Islam dan Disintegrasi Politik Bani Abbas”, Jurnal Al-Zahra’; Jurnal Studi Islam Komprehensif, Vol. 3, No. 2. Syahraeni, Andi. (2016) “Dinasti-Dinasti Kecil Bani Abbasiyah”, Jurnal Rihlah, Vol. 4, No. 1.
Ibrahim Hassan, Hassan. (1989). Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta. Kota Kembang.
Ismail, Faisal. (1999). Islam Idealitas Ilahiyyah dan Realitas Insaniyyah, Cet. ke-1 Yogyakarta. Tiara Wacana Group.
Munir Amin, Samsul. (2009). Sejarah Peradaban Islam, Jakarta. Amzah.
Yatim, Badri. (1996). Sejarah Kebudayaan Islam II, Jakarta. Ditjen Binbaga Islam.
Yatim, Badri. (2014). Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta. Rajawali Pers.



[1] Effat Al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, (Bandung: Pustaka, 1986), hal. 5.
[2] Hamit Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’i: Pemikiran Politik Modern Menghadapi Abad Ke-XX, (Bandung: Pustaka, 1998), hal. 1.
[3] Faisal Ismail, Islam Idealitas Ilahiyyah dan Realitas Insaniyyah, Cet. ke-1 (Yogyakarta: Tiara Wacana Group, 1999), hal. 157.
[4] Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang. 1989), hal. 34.
[5] Ibid,. hal. 64.
[6] Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan Islam II, (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam, 1996), hal. 438.
[7] Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya Jilid III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 269.
[8] Hamka Hasan, “Kemunduran Peradaban Islam dan Disintegrasi Politik Bani Abbas”, Jurnal Al-Zahra’; Jurnal Studi Islam Komprehensif, Vol. 3, No. 2, (2004), hal. 223.
[9] Andi Syahraeni, “Dinasti-Dinasti Kecil Bani Abbasiyah”, Jurnal Rihlah, Vol. 4, No. 1, (2016), hal. 104.
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal. 65.
[11] Dr.Abdul Halim ‘Aus, Dirasah Li Suquth Tsalatsina Daulah Islamiyah, hal. 34.
[12] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 177.
[13] Dr.Abdul Halim ‘Aus, Dirasah Li Suquth Tsalatsina Daulah Islamiyah, hal. 34.
[14] Ibid., hal. 34.
[15] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hal. 276.

0 Response to "SEJARAH PERADABAN DINASTI SHAFARIYAH"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel